Mengapa wanita lebih
banyak masuk neraka? mungkin pertanyaan tersebut sering kali Anda dengar.
Dan yang pasti, Anda juga ingin tahu alasan kenapa wanita lebih banyak masuk
neraka. Pada artikel ini, duniabaca.com akan memaparkan berbagai alasan
yang dilengkapi hadits-hadits yang menyatakan mayoritas penghuni neraka
adalah kaum wanita.
Sesungguhnya wanita muslimah
memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam
kehidupan setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun
masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan sunnah
Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan
muslimah dari kesesatan dalam segala hal.
Kesesatan dan penyimpangan umat
tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka dari petunjuk Allah dan dari
ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Rasulullah bersabda, “Aku
tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama
berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (Diriwayatkan oleh
Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)
Sungguh telah dijelaskan di dalam
Al-Qur’an betapa pentingnya peran wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara
perempuan, maupun sebagai anak. Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya. Adanya hal-hal tersebut juga telah dijelaskan dalam
sunnah Rasul.
Peran wanita dikatakan penting
karena banyak beban-beban berat yang harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang
semestinya dipikul oleh pria. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita
untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap
kepadanya. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada
kedudukan ayah. Ini disebutkan dalam firman Allah,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah
kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya
telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa
pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai
Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik
kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah
dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah
dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah
dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga
Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548)
Dari hadits di atas, hendaknya
besarnya bakti kita kepada ibu tiga kali lipat bakti kita kepada ayah.
Kemudian, kedudukan isteri dan pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seseorang
(suami) telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -semoga Alah
merahmatinya- menjelaskan pengertian firman Allah: “mawaddah wa rahmah” bahwa
mawaddah adalah rasa cinta, dan rahmah adalah rasa kasih sayang.
Seorang pria menjadikan seorang
wanita sebagai istrinya bisa karena cintanya kepada wanita tersebut atau karena
kasih sayangnya kepada wanita itu, yang selanjutnya dari cinta dan kasih sayang
tersebut keduanya mendapatkan anak.
Sungguh, kita bisa melihat teladan
yang baik dalam masalah ini dari Khadijah, isteri Rasulullah, yang telah
memberikan andil besar dalam menenangkan rasa takut Rasulullah ketika beliau
didatangi malaikat Jibril membawa wahyu yang pertama kalinya di goa Hira’. Nabi
pulang ke rumah dengan gemetar dan hampir pingsan, lalu berkata kepada
Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku khawatir dengan diriku.”
Demi melihat Nabi yang demikian itu, Khadijah berkata kepada beliau,
“Tenanglah. Sungguh, demi Allah, sekali-kali Dia tidak akan menghinakan dirimu.
Engkau adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahim, senantiasa
berkata jujur, tahan dengan penderitaan, mengerjakan apa yang belum pernah
dilakukan orang lain, menolong yang lemah dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari,
Kitab Bad’ al-Wahyi no. 3, dan Muslim, Kitab al-Iman no. 160)
Merupakan satu anugerah dari Allah,
ketika seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan
kasih yang suci. Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang
Khaliq.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian
sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“.
(Ar-Rum: 21)
Apatah lagi bila pendamping hidup
itu seorang yang shalih, yang akan memuliakan istrinya bila bersemi cinta di
hatinya, namun kalau toh cinta itu tak kunjung datang maka ia tak akan
menghinakan istrinya.
Merajut dan menjalin tali pernikahan
agar selalu berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak
tangan, karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya. Seorang suami
butuh bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya. Istripun
demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana
kedudukan seorang suami dalam syariat ini. Masing-masing punya hak dan
kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun
terputus.
Syariat menetapkan seorang suami
memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai-sampai bila
diperkenankan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan
memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.
Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur:
Tatkala Mu’adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang
Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia
memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Ketika ia
kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Ya
Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan
petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa
engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.” Mendengar ucapan
Mu’adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ
الْمَرْأَةَ َأنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ الله
عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا
كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ
إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku
perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang
istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia
menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya
meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas
pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh
menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul
Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)
Satu dari sekian hak suami terhadap
istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan
keutamaannya.
Namun disayangkan, di kalangan para
istri banyak yang melupakan atau tidak tahu hak yang satu ini, hingga kita
dapatkan mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah
diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya. Yang lebih disayangkan, ucapan dan
penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para
wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka. Padahal perbuatan seperti ini
menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.
Perbuatan tidak tahu syukur ini
merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana
diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat
Kusuf (Shalat Gerhana):
أُرِيْتُ النَّارُ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ
يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَ يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ
وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ, لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَ
رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Diperlihatkan neraka kepadaku.
Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur .” Ada yang
bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau
menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan
(suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu
masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di
hatinya) niscaya ia akan berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan
darimu.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah
berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap
suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
telah menyatakan: Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk
sujud kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan hak
suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri
mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah
mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut
meremehkan hak Allah. Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap
perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.”
(Fathul Bari, 1/106)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam juga mengisahkan:
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ
دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ
أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ
دَخَلَهَا النِّسَاءُ
“Aku berdiri di depan pintu surga,
ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara
orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka
telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke
dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)
Pada hari Idul Adha atau Idul
Fithri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk
melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para
wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan
perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku
mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang
cerdas: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan
suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat
menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang
akal dan kurang agama?“. “Adapun kurangnya akal wanita ditunjukkan
dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki.
Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat
dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat
ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)
Karena mayoritas kaum wanita adalah
ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari
ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam
sabdanya:
إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة النِّسَاءُ
“Minoritas penghuni surga adalah
kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)
Bila demikian adanya tidak pantas
bagi seorang wanita yang mencari keselamatan dari adzab untuk menyelisihi
suaminya dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia
curahkan ataupun banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding
dengan apa yang telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya. Sepatutnya bila
seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak
pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya.
Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara
suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan
kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Dzat
yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya
kenikmatan pada setiap hamba.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Siapa yang tidak bersyukur
(berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.”
(HR. Abu Dawud no. 4177 dan At-Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/338)
Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini
dapat dipahami dari dua sisi.
Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.
Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.
Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas
kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur
(berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka,
karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)
Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang
hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi
karena mensyukuri Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan
melaksanakan perintah-Nya. Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan
adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya
nikmat-nikmat Allah kepadanya. Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam
hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya. Atau bisa pula
maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan
dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat
senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling
dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih
berani meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya
antara kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).
Sepantasnya bagi seorang istri yang
mencari keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya
dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih
kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka.
Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah
datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu keperluan dan
setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bertanya kepadanya:
أَ ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ
أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ
أينَ أَنْتِ مِنْهُ فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi
Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”
tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali
dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana
keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan
nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341. Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini
hasan, 3/430)
Saudariku, janganlah engkau sakiti
suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya. Ingatlah, suamimu
hanya sementara waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu
dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:
لاَ
تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا مِنَ
الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ, فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ
دَخِيْلٌ, يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti
suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang menjadi
istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia
di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan
berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372).
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.
Sumber : lapodding.com. Dikutip dari asysyariah.com
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein. Judul asli :
Kekufuran Istri Berbuah Petaka
Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat
untuk para pembaca semua dan setidaknya sekarang ini kita semua sudah mengerti
lebih jauh mengapa wanita lebih banyak masuk neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar